About Me

My photo
petite, talk active, books lover, mind jumper

Tuesday, December 27, 2011

Monolog Ibu #5

"Kran kamar mandi sudah dimatikan, Nak?
Sudah Bu
Lampu belakang jangan lupa dinyalakan
Iya Bu
Itu teh buat kamu sudah Ibu siapkan, nanti dingin
Aku kan nggak begitu suka teh Bu
Aduh maaf Ibu lupa, kamu jarang pulang soalnya.."

Percakapanku dengan Ibu, yang terjadi di dapur kecil rumah di kampungku

Sayang,semua hanya terjadi di benakku, 
Seperti sebelumnya, kilasan-kilasan percakapan pun berlarian di benakku,
Ketika aku merasa rinduku kepada Ibu sudah tidak tertampung oleh hatiku

Ibuku, sungguh aku rindu..

Mandiri versus Manja

Saya tidak tahu batasan jelas  tentang mandiri dan manja seperti apa. Yang pasti mandiri versi saya adalah berusaha melakukan apa-apa sendiri tanpa berusaha untuk merepotkan orang lain.

Satu peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini membuat saya mempertanyakan definisi mandiri dan manja.

Satu minggu lalu, setelah lebih dari 3 hari menderita nyeri yang tidak berkesudahan di perut bagian kanan bawah, dokter mendiagnosa saya dengan : usus buntu dan harus operasi!
Hari itu hari Rabu, dan saya ‘menawar’ dokter untuk melakukan operasi di hari Jumat saja.  Keputusan saya untuk menunda operasi hingga Jumat menimbulkan berbagai reaksi, salah satunya adalah : operasi secepatnya, jangan menunggu hingga Jumat. Walaupun operasi kecil, ternyata jika terlambat dioperasi, usus buntu menjadi bahaya.

Setelah mengalami demam dan kesakitan yang tidak berkesudahan, ternyata saya sudah tidak tahan. Kamis pagi, saya ke rumah sakit dengan diantar supir kantor yang menjemput saya dari kost-an. Sendiri, mengurus administrasi rawat inap, bahkan menolak memakai kursi roda karena saya malu, masih terlihat sehat koq pakai kursi roda.
Di lift, petugas yang mengantar saya ke kamar berulang kali menanyakan apakah saya baik-baik saja, melihat saya yang tidak berhenti menarik nafas panjang dan meringis kesakitan setiap saat.
Sampai di ruangan,  suster melakukan rekam jantung, mengambil sampel darah saya dan memasang infus. Saya bahkan tidak memiliki kesempatan untuk SMS atau telepon memberitahukan teman  atau saudara bahwa operasi saya dipercepat.

Saya hanya mendengar suara supir kantor yang mengantarkan tas baju saya yang bertanya ke suster jam berapa operasi dilakukan. 

Dan tepat 1 jam, saya sudah didorong suster menuju ruang operasi. Sepanjang jalan, suster mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengisi surat pertanyaan yang harus diisi sebelum operasi dilakukan. Dan saya sendiri yang menandatangani surat tersebut. 

Beberapa menit sebelum anestesi dilakukan, saya masih sempat bercanda dengan dokter dan tim operasinya. Suara susterlah yang membangunkan saya, di ruang recovery, diselimuti oleh electronic blanket, tersambung dengan alat monitor jantung, masker oksigen dan  alat pengukur  tensi di lengan kanan saya, menyadarkan saya bahwa operasi sudah selesai dilakukan.
Begitu keluar  dari ruang operasi, suster bertanya di mana keluarga saya dan saya menjawab tidak ada. Sebagai anak rantau, dari dulu saya terbiasa mengatasi semuanya sendiri dan baru setelahnya memberitahu keluarga. 

Malam itu di RS, saya ditemani oleh si mbak yang biasa bantu-bantu di kost-an. Paginya, saat dokter visit, ternyata saya sudah diperbolehkan pulang. Sebuah pesan masuk di HP saya, dari seorang teman. Begitu dia tahu saya ‘cuma’ satu malam menginap di RS dan ada yang menemani, komentarnya : manja banget sih kamu, mennginap satu malam saja koq harus ada yang menemani’.
Saya coba bilang bahwa saya perlu dibantu karena ada infus di tangan kiri saya, apalagi jika saya perlu ke kamar mandi.

Sabtu pagi, teman yang sama mengirimkan pesan ke saya, sudah makan belum. Saya bilang, sedang menunggu seseorang untuk diminta tolong membelikan saya makan.
Again, saya dikomentarin : 'manja banget sih kamu'. Well, saya mendiamkan saja,  malas untuk menjelaskan bahwa luka habis operasi saya masih sakit dan saya belum boleh banyak bergerak. 

Dari situ, saya pun menjadi penasaran, saya yang selama ini selalu merasa mandiri termasuk manja atau bukan ya? Sepertinya saya harus googling..

Tuesday, December 20, 2011

Doaku

Seorang teman berkata padaku : janjimu kepadaku, coba fokus pada hidupmu

Walaupun berjuta masalah menderamu, karena itu bagian dari proses dewasamu

Kumpulkan yang berserak darimu yang merupakan  sumber kekuatanmu

Aku terpaku, bukan hal gampang untuk tetap berdiri kuat seperti tugu
Bukan hal mudah ketika semua keputusan penting diletakkan di pundakku

Aku tidak berdoa untuk minta diringankan bebanku
Aku berdoa supaya Tuhan menambahkan kekuatan di pundakku, agar beban itu tidak terasa untukku..


Dari Balik Pintu

Aku coba mengetukmu
Dari cara halus hingga gedoran yang memekakkan telingaku
Menunggu, berharap mungkin waktu bisa membukakan kuncimu
Namun tetap, kamu kokoh tidak bergeming bagai batu

Dan pada akhirnya aku harus membiarkanmu tetap tertutup  bagiku
Pilihanku : pergi dan melupakan bahwa pernah ada pintu itu..

Saturday, December 17, 2011

Maaf

Maaf, itu yang kamu ucapkan kepadaku ketika aku bilang aku benci kamu

Maaf, selalu jadi kata andalanmu ketika kamu salah mengartikan pesanku

Maaf, sudah membuatmu menunggu, katamu setiap kamu terlambat menemuiku

Maaf, ujarmu sambil meraihku dalam dekapanmu dan menghapus air mataku dengan ujung jarimu
Membuatku luluh serta lupa semua kesalahanmu

Maaf,
Mungkin sekarang kamu sedang mentertawakan kebodohanku
Yang selalu menerima apapun alasanmu..

Tiga Tahun Berlalu


Aku tidak tahu benang takdir apa yang membawamu ada di sekitar daerah tempat tinggalku. Siang itu , hari terakhirku di Bali. Setelah keputusanku bahwa Jakarta lebih mengundang untukku.

Aku sedang di dalam taxi, bersiap menuju bandara untuk mengejar penerbanganku. Mendadak mataku terpaku pada sosok rapi di jalan samping kiriku, ya itu kamu. Selalu ke kantor dengan berkemeja walaupun teman-temanmu cuek bercelana pendek dan bersandal jepit saja.

Aku keluar dari taxi, yang sedang melambat karena macet, lupa memberi aba-aba ke pengemudinya untuk menepi.
Menghampirimu, setengah belari. Dan sungguh kulihat kerlip  terkejut di matamu.

Kuulurkan tanganku dan mengucapakan salam perpisahan. Di luar dugaanku, kamu meraihku dan mengecup kedua pipiku. Siang itu, aku merasa matahari Bali lebih terik dari biasanya, karena meninggalkan rona merah di  wajahku. Dan mendadak angin pun terasa sejuk membelai diriku, seperti rasa bibirmu di pipiku.

Tidak ada panjang kata, hanya ucapan selamat jalan berlanjut dengan sebuah pesan singkat di handphone-ku, dari kamu  ‘Aku senang kita bisa bertemu sebelum keberangkatanmu,hati-hati ya’.

Tidak ada janji untuk menjaga hati karena kita memang belum pernah membahas hal itu. Hanya perhatianmu yang dalam diam selalu bersedia mengantar aku pulang atau bersedia berhenti di pinggir jalan untuk sekedar menungguku membeli makan malamku.

Tiga tahun berlalu, dan kamu  masih seperti dulu. Tidak ada kalimat pasti terucap dari bibirmu. Hanya pesan singkat yang sesekali datang menyapaku. Menanyakan kabar  dan kegiatanku di Jakarta. 

Hingga suatu hari kamu bilang kepadaku bahwa kamu memimpikanku. Di mimpimu, kamu melihat kita berdua menghabiskan waktu, saling bercerita seakan tidak ada jeda.

Dan hari itu, aku berdebar menunggu kedatanganmu. Akhirnya kamu memutuskan untuk mengunjungiku, dan mewujudkan impian tertundamu..

Thursday, December 15, 2011

Hujan #7

Aku menatap hujan, mencoba mengalihkan pikiranku dari titik-titik air yang membentuk wajahmu

Selalu, ada rindu yang menggebu meski aku berusaha mengabaikanmu

Tersentak aku oleh suara yang membangunkan lamunanku
Sudah sampai Bu, kata pengemudi taxi-ku
Bergegas aku membereskan bawaanku

Kuhela nafas dan segera menghapus bayangmu
Nanti aku pasti bisa melupakanmu, itu janjiku..

Wednesday, December 14, 2011

Jejak Rindu

Aku harus menghapus kata rindu dari kosa kataku

Dan itu ketika kamu perlahan menjauh dariku

Menguraikan simpul-simpul harapan yang pernah kamu ikatkan kepadaku

Menghilangkan jajak kehadiranmu di seluruh penjuru pikiranku

Aku tahu tidak akan semudah itu menghilangkan bayangmu

Namun seperti yang selalu terjadi di kala lalu
Waktu yang akan membantuku..

Thursday, December 8, 2011

Pengagum Kaca

Kulihat aliran sungai yang menghitam membelah jalanan kota  ,
Dengan plastik, botol yang terapung memenuhi permukaannya

Terpantul bayangan mobil yang lewat di atasnya
Dan di depan, seorang lelaki tua, dengan rakit bambunya sedang memilah-milah sampah yang terlihat bernilai baginya

Serta merta, kisah Narcisus sang pengagum diri sendiri pun melintas di kepala
Terlintas satu tanya, apakah dia mau berkaca di aliran sungai yang tidak ada jernih-jernihnya?

Wednesday, December 7, 2011

Badai Itu


Aku menamakan badai itu dengan namamu
Datang dan mengoyak damai yang kadang terasa beku

Seperti kamu, yang selalu bisa menggoyahkan ketenangan di hatiku

Namun sepertinya halnya badai itu
Selalu, setelah kehadirannya,langit pun biru

Dan udara menghembuskan aroma segar yang melenakanku

Seperti kamu, meski kadang pertengkaran  menghiasi hariku
Setelahnya, kamu selalu mampu memunculkan senyum di wajahku..