About Me

My photo
petite, talk active, books lover, mind jumper

Tuesday, December 27, 2011

Mandiri versus Manja

Saya tidak tahu batasan jelas  tentang mandiri dan manja seperti apa. Yang pasti mandiri versi saya adalah berusaha melakukan apa-apa sendiri tanpa berusaha untuk merepotkan orang lain.

Satu peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini membuat saya mempertanyakan definisi mandiri dan manja.

Satu minggu lalu, setelah lebih dari 3 hari menderita nyeri yang tidak berkesudahan di perut bagian kanan bawah, dokter mendiagnosa saya dengan : usus buntu dan harus operasi!
Hari itu hari Rabu, dan saya ‘menawar’ dokter untuk melakukan operasi di hari Jumat saja.  Keputusan saya untuk menunda operasi hingga Jumat menimbulkan berbagai reaksi, salah satunya adalah : operasi secepatnya, jangan menunggu hingga Jumat. Walaupun operasi kecil, ternyata jika terlambat dioperasi, usus buntu menjadi bahaya.

Setelah mengalami demam dan kesakitan yang tidak berkesudahan, ternyata saya sudah tidak tahan. Kamis pagi, saya ke rumah sakit dengan diantar supir kantor yang menjemput saya dari kost-an. Sendiri, mengurus administrasi rawat inap, bahkan menolak memakai kursi roda karena saya malu, masih terlihat sehat koq pakai kursi roda.
Di lift, petugas yang mengantar saya ke kamar berulang kali menanyakan apakah saya baik-baik saja, melihat saya yang tidak berhenti menarik nafas panjang dan meringis kesakitan setiap saat.
Sampai di ruangan,  suster melakukan rekam jantung, mengambil sampel darah saya dan memasang infus. Saya bahkan tidak memiliki kesempatan untuk SMS atau telepon memberitahukan teman  atau saudara bahwa operasi saya dipercepat.

Saya hanya mendengar suara supir kantor yang mengantarkan tas baju saya yang bertanya ke suster jam berapa operasi dilakukan. 

Dan tepat 1 jam, saya sudah didorong suster menuju ruang operasi. Sepanjang jalan, suster mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengisi surat pertanyaan yang harus diisi sebelum operasi dilakukan. Dan saya sendiri yang menandatangani surat tersebut. 

Beberapa menit sebelum anestesi dilakukan, saya masih sempat bercanda dengan dokter dan tim operasinya. Suara susterlah yang membangunkan saya, di ruang recovery, diselimuti oleh electronic blanket, tersambung dengan alat monitor jantung, masker oksigen dan  alat pengukur  tensi di lengan kanan saya, menyadarkan saya bahwa operasi sudah selesai dilakukan.
Begitu keluar  dari ruang operasi, suster bertanya di mana keluarga saya dan saya menjawab tidak ada. Sebagai anak rantau, dari dulu saya terbiasa mengatasi semuanya sendiri dan baru setelahnya memberitahu keluarga. 

Malam itu di RS, saya ditemani oleh si mbak yang biasa bantu-bantu di kost-an. Paginya, saat dokter visit, ternyata saya sudah diperbolehkan pulang. Sebuah pesan masuk di HP saya, dari seorang teman. Begitu dia tahu saya ‘cuma’ satu malam menginap di RS dan ada yang menemani, komentarnya : manja banget sih kamu, mennginap satu malam saja koq harus ada yang menemani’.
Saya coba bilang bahwa saya perlu dibantu karena ada infus di tangan kiri saya, apalagi jika saya perlu ke kamar mandi.

Sabtu pagi, teman yang sama mengirimkan pesan ke saya, sudah makan belum. Saya bilang, sedang menunggu seseorang untuk diminta tolong membelikan saya makan.
Again, saya dikomentarin : 'manja banget sih kamu'. Well, saya mendiamkan saja,  malas untuk menjelaskan bahwa luka habis operasi saya masih sakit dan saya belum boleh banyak bergerak. 

Dari situ, saya pun menjadi penasaran, saya yang selama ini selalu merasa mandiri termasuk manja atau bukan ya? Sepertinya saya harus googling..

2 comments: